Paulus membuat beberapa pernyataan luar biasa mengenai hal ini. Pernahkah Anda memperhatikan bahwa banyak orang saat ini sibuk dengan 1 Korintus karena di dalamnya terdapat semua karunia-karunia Roh, dan sebagainya; namun tidak banyak orang yang menghabiskan banyak waktunya dengan 2 Korintus. Tahukah Anda kenapa? Karena temanya adalah kelemahan dan penderitaan. Dan itu bukanlah tema yang populer. 2 Korintus 12, dimulai dari ayat 7, Paulus berbicara dari pengalaman pribadi.

“Dan supaya aku jangan sampai ditinggikan melebihi ukuran oleh karena berlimpah-limpahnya pewahyuan-pewahyuan…”

Paulus berbicara tentang semua pewahyuan-pewahyuan yang Tuhan berikan kepadanya. Dan tahukah Anda pewahyuan-pewahyuan menimbulkan kecenderungan apa? Itu cenderung membuat kita sombong. Dan Tuhan sangat mengasihi Paulus sehingga Dia menjaganya dari kesombongan dengan cara yang sangat tidak biasa. Dengan melepaskan seorang malaikat Satan untuk membuntuti dia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain dan menimbulkan keributan dan penganiayaan dan menjaga dia tetap rendah hati. Berapa banyak dari Anda yang ingin menjadi rendah hati? Baiklah, puji Tuhan, tetapi Anda mungkin akan keheranan dengan cara-cara yang akan Tuhan gunakan! Inilah yang dia katakan:

“Dan supaya aku jangan sampai ditinggikan melebihi ukuran oleh karena berlimpah-limpahnya pewahyuan-pewahyuan, suatu duri di dalam daging diberikan kepadaku…”

Ini adalah metafora yang diambil dari Perjanjian Lama di mana Yosua memperingatkan bangsa Israel bahwa jika mereka tidak melenyapkan orang-orang Kanaan yang telah menduduki negeri itu, tetapi jika mereka membiarkan mereka hidup berdampingan, mereka akan menjadi duri di dalam daging mereka. Anda lihat, banyak di antara kita yang mempunyai duri-duri di dalam daging karena perbuatan kita sendiri, karena kita telah datang ke Tanah Perjanjian, tetapi kita membiarkan banyak orang-orang Kanaan berkeliaran. Salah satu hal yang Tuhan ajarkan kepada saya adalah kita harus melenyapkan orang-orang Kanaan itu. Tetapi ini bukanlah sesuatu yang menjadi tanggung jawab Paulus sendiri, ini adalah sesuatu yang Tuhan lakukan dalam hidupnya. Dia mengatakan seorang utusan, tetapi kata itu artinya adalah malaikat. Tahukah Anda, kata yang sama dalam bahasa Yunani [ἄγγελος aggelos] dan Ibrani [מַלאָךְ mal’ak] untuk kata yang berarti malaikat dan utusan.

“…suatu duri di dalam daging diberikan kepadaku, seorang malaikat Satan untuk menggocoh aku [untuk terus-menerus memukuli aku]—supaya aku tidak ditinggikan melebihi ukuran.”

Menggocoh dari kata asli κολαφίζω kolaphizo, yang artinya: memukuli dengan tinju.

Anda lihat, jika Anda mempelajari karier Paulus, dia sama sekali tidak seperti rasul-rasul lainnya. Mereka semuanya dianiaya, mereka semuanya mendapatkan kesukaran, tetapi kesukaran-kesukaran Paulus ada dalam tingkatan kategori khusus tersendiri. Hampir-hampir tidak ada kota yang dia datangi di mana tidak terjadi kerusuhan. Hal-hal yang paling konyol memicu kerusuhan. Di Filipi, yang dia lakukan hanyalah mengusir setan dari seorang budak perempuan peramal dan seluruh kota menjadi gempar. Dalam beberapa jam dia dan Silas dijebloskan ke dalam penjara dengan keamanan maksimum. Itu tidak logis. Anda tidak dapat menjelaskan hal itu melalui proses penalaran apa pun. Tetapi ada malaikat Satan yang memicu keributan-keributan melawan Paulus. Dan pada dasarnya, ke mana pun dia pergi, situasi-situasinya terpicu menjadi kerusuhan. Bagi Paulus, biasanya terjadi kerusuhan atau kebangkitan rohani—atau keduanya!

Kemudian Paulus mengatakan semua orang tahu bahwa Tuhan menjawab doa-doa para rasul, bukan? Sudah pasti, tentunya. Namun Paulus berkata:

“Mengenai hal ini aku memohon kepada Tuhan tiga kali supaya itu menyingkir dari padaku.”

Dan Tuhan tidak mau melakukannya. Kadang-kadang orang Kristen berkata bahwa Tuhan tidak menjawab doa-doanya, tetapi ingatlah bahwa “Tidak!” juga merupakan jawaban.

“Dan Tuhan berfirman kepadaku, ‘Kasih karunia-Ku cukup bagimu, karena kekuatan-Ku dijadikan sempurna di dalam kelemahan.’”

Ini benar sekali. Karena ketika kita punya kekuatan sendiri, bagaimana orang bisa mengenali kekuatan Tuhan? Mereka tidak dapat melihatnya. Tetapi ketika kita sudah sampai pada batas akhir kekuatan kita sendiri dan kemudian kita mempunyai kekuatan, maka kita tahu itu adalah Tuhan. Kekuatan Tuhan dijadikan sempurna di dalam kelemahanku. Apakah Anda ingin mengucapkan hal ini?

“Kekuatan Tuhan dijadikan sempurna di dalam kelemahanku.”

Mulai sekarang Anda akan senang menjadi lemah, bukan? Saya beritahu Anda, Tuhan mendengar Anda mengatakan itu. Enam bulan dari sekarang Anda mungkin menyesal telah mengatakan ini.

Dengarkan apa yang Paulus katakan.

“Oleh karena itu, dengan sangat senang aku lebih suka bermegah dalam kelemahan-kelemahanku, supaya kuasa Kristus dapat tinggal padaku. Oleh karena itu, [dengarkan kata-kata ini] aku senang dalam kelemahan-kelemahan, dalam celaan-celaan, dalam kekurangan-kekurangan, dalam penganiayaan-penganiayaan, dalam kesusahan-kesusahan, demi Kristus; karena bila aku lemah, maka aku kuat.”

Saya tidak meminta siapa pun untuk membuat pengakuan itu, karena begitu Anda mengucapkannya, Anda telah mengikatkan diri Anda pada sesuatu.

Coba Anda renungkan: “Aku senang”… Bukan “Aku mentoleransi,” bukan “Aku bertahan,” bukan “Aku menderita dengan kasih karunia,” tetapi “Aku senang dalam kelemahan-kelemahan, dalam celaan-celaan, dalam kesusahan-kesusahan, dalam penganiayaan-penganiayaan, dalam kekurangan-kekurangan.” Mengapa? Karena dia telah mempelajari rahasia ini. Ketika kita sampai pada batas akhir kekuatan kita sendiri, kebijaksanaan kita sendiri, sumber daya kita sendiri, barulah Tuhan melepaskan kasih karunia-Nya.

“Kasih karunia dimulai ketika kemampuan-kemampuan manusia berakhir.”

Anda tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kasih karunia Tuhan selama Anda bisa melakukannya sendiri. Mengapa Tuhan harus melepaskan kasih karunia-Nya? Namun ketika Anda sampai pada titik di mana Anda tidak dapat melakukannya, namun itu tetap harus dilakukan, maka Anda memenuhi syarat untuk menerima pelepasan kasih karunia Tuhan.

Mari kita lihat Galatia 2:20. Ini adalah pengakuan Paulus yang lain. Menarik untuk diperhatikan berapa kali Paulus sendiri membuat pengakuan iman dan pendiriannya. Coba Anda mengambil waktu untuk menelusuri Perjanjian Baru dan temukanlah pengakuan negatif apa pun yang pernah diucapkan oleh salah satu rasul mana pun. Anda tidak akan dapat menemukannya. Pola yang luar biasa! Dan kemudian Anda berjalan di tengah-tengah gereja masa kini, termasuk pendeta-pendetanya, pelayan-pelayannya, dan Anda hampir-hampir dipenuhi pengakuan-pengakuan negatif. Mulai yang sangat-sangat pesimistis sampai yang sangat-sangat optimistis.

“Aku tidak mau melakukan ini,” “Aku tidak suka seperti ini,” “Aku tidak bisa,” “Aku tidak sanggup,” “Aku cuman bisa berharap.” Para rasul tidak berbicara seperti itu. Bukan karena mereka percaya kepada diri sendiri, tetapi karena mereka telah sampai pada akhir dari kekuatan mereka sendiri. Jadi Paulus berkata dalam Galatia 2:20:

“Aku telah disalibkan bersama Kristus; bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku; dan hidup yang aku hidupi sekarang di dalam daging, aku hidup oleh iman Anak Tuhan yang mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”

Paulus berkata sebagai hasil kurban Kristus di kayu salib, aku telah sampai pada akhir hidupku. Ketika aku sampai kepada salib, aku mati, dan sekarang bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.

Jika Anda bersedia, silakan membuat pengakuan ini, tetapi jangan ucapkan jika Anda tidak mau. Tapi, biarlah orang-orang yang siap mengatakan ini, ucapkan saja.

“Aku disalibkan bersama Kristus; walaupun demikian aku hidup, namun bukan aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku; dan hidup yang aku hidupi sekarang di dalam daging, aku hidup oleh iman Anak Tuhan yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”

Dan Anda lihat, Anda perhatikan terjemahan yang saya pakai di sini merupakan terjemahan literal. Melalui iman “dari” Anak Tuhan. Jadi bukan iman saya yang saya andalkan, melainkan iman Anak Tuhan [Yesus], karena ketika Yesus datang, Dia datang dengan iman-Nya.

Ini adalah kunci menuju kekudusan Perjanjian Baru, yang menurut saya, di dalam gereja masa kini sangat sedikit dibicarakan tentang kekudusan. Tetapi Alkitab mengatakan tanpa kekudusan tidak ada seorang pun yang akan melihat Tuhan. Anda lihat, dalam Perjanjian Lama, kekudusan terdiri dari menjaga serangkaian aturan-aturan yang sangat rumit. Di bagian salah satu pasal Kitab Imamat, Tuhan berfirman, “Kuduslah kalian, karena Aku ini kudus.” Dalam surat Petrus yang pertama, pasal pertama, Petrus mengutip pernyataan itu dan berkata, “Hendaklah kamu kudus, karena Aku ini kudus,” berbicara dalam pribadi Tuhan. Tapi ada perbedaan total. Kekudusan Perjanjian Baru bukanlah menjaga seperangkat aturan-aturan. Kekudusan Perjanjian Baru tidak dicapai dengan menjaga seperangkat aturan-aturan. Kekudusan Perjanjian Baru dicapai dengan mati dan memberikan Kristus menghidupi hidup-Nya melalui Anda. Jadi itu bukan aku, melainkan Kristus. Jadi seperti ini: Bukan berjuang, melainkan memberi diri. Ini bukan dengan berjerih payah, melainkan dengan penyatuan—penyatuan dengan Kristus.

Ada sebuah cerita kecil tentang seorang wanita saleh di suatu tempat yang dikagumi karena kehidupan kudusnya. Dan suatu hari beberapa orang Kristen lainnya berkata kepadanya, “Saudari, bagaimana Anda menghadapi godaan?” Dan dia berkata, “Ketika Iblis mengetuk pintu aku biarkan saja Yesus yang menjawab.” Singkatnya: Bukan aku tapi Kristus. Bukan apa yang bisa aku lakukan, bukan jerih payah terbaikku, bukan mengerahkan seluruh otot-otot rohaniku, tapi memberi diri. Membiarkan Kristus melakukannya di dalam aku dan melalui aku dan bagi aku.